Apa yang anda ketahui tentang karir?
Pertanyaan di atas pernah diajukan oleh dosen saya di dalam perkuliahan. Menanggapi pertanyaan tersebut pikiran saya langsung tertuju pada kesuksesan dan kemapanan materi. Mungkin saat itu merupakan saat peka bagi saya mengenai masalah finansial yang semakin “seret” semenjak keluar dari pekerjaan paruh waktu sehingga saya berpikir demikian. Karir merupakan implementasi dari teori- teori yang kita pelajari maupun pengalaman yang mendasari terbentuknya karir.
Karir adalah kemajuan dalam kehidupan; perkembangan dan kemajuan dalam pekerjaan/ jabatan (Poerwadarminta, W. J. S., Kamus Umum Bahasa Indonesia,Balai Pustaka). Kemajuan tersebut bukan hanya akan memengaruhi aspek finansial namun juga aspek berpikir yang semakin berkembang. Hal ini berkaitan dengan pengetahuan yang akan didapat dari pola pekerjaan, pergaulan yang semakin luas, dan pengertian- pengertian berbeda dalam kehidupan sosial nantinya.
Motivasi dalam proses perkembangan karir pada setiap orang berbeda. Pada tahap esensi perkembangan karir yang saya hadapi terjadi pada masa tentative dimana saya sempat memandang kesuksesan dalam berkarir sama dengan arogansi individu terhadap situasi lingkungannya. Hal ini berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya terhadap para eksekutif muda, ketika itu. Namun seiring berjalannya waktu, konsep karir mulai berkembang dari kemapanan material menjadi kemajuan dalam pekerjaan yang menghasilkan kesuksesan secara subjektif.
Jika harus flashback tentang perubahan aspirasi karir pada masa kanak- kanak hingga sekarang, jujur, tak ada perkembangan yang signifikan. Saya tetap menjadi manusia yang tak pernah luar biasa. Tak ada progres yang bisa dibanggakan atau saya pamerkan pada khalayak. Bahkan guru SMP saya hanya menggelengkan kepala ketika melihat saya tetap menjadi seorang yang biasa- biasa saja di saat si A sudah bekerja di perusahaan milik keluarga, si B mempunyai usaha butik walau dengan tertatih- tatih, si C menjadi “bussiness woman”, dan saya tetap tak punya misi dan visi yang jelas kecuali menjadi orang kaya. Dan cita- cita permanen saya bukan hanya fatamorgana. Keyakinan akan tercapai apa yang saya inginkan terjadi setelah selama 4 hari saya “diculik” ke Jakarta oleh saudara saya dan dia memerlihatkan betapa angkuhnya kota Jakarta, setidaknya tak ada yang lebih angkuh dibandingkan saudara saya saat itu, begitu pikir saya yang mulai senewen dengan hiruk-pikuk kemacetan kota. Selama itu, saya digembleng secara verbal dan cukup membuat panas telinga dan hati saya karena dia selalu memposisikan saya sebagai wong ndeso yang tak bisa berkembang dan tak mengerti tentang psikologi industri, psikologi klinis, bisnis dan bla.. bla…bla… (saat itu, saya mendengarkan dengan sok bijak sambil mata kriyip- kriyip menandakan kebosanan akut). Saya melalui 4 hari dengan menemani saudara meeting di hotel- hotel dengan beberapa orang sukses lainnya. Dan saya? Ya… saya hanya menunggu di lobi hotel dan selalu melakukan “inspeksi mendadak” di toilet untuk mencoba satu per satu wastafel yang “wah”. Saya mulai menyadari bahwa saya memang ndeso setelah sok merenung di kamar ber-AC yang disiapkan di rumahnya, seperti sebuah villa. Saya pun langsung mengadu kepada “pemberi hidup”, kenapa memberi IQ tiarap sehingga kapasitas pemikiran saya menjadi sangat terbatas dan membuat IP saya hancur sehancur muka saya, mungkin juga hidup saya akan berakhir se-tragis Marsinah, wong cilik yang mati mempertahankan hak-haknya? Dan entah Dia mendengar atau tidak, terpenting, saya puas kalau sudah menyalahkan orang lain atau keadaan (atau sebenarnya saya ini termasuk kriteria orang bodoh yang mengaku pintar sehingga tak mau disalahkan?).
Setelah kembali ke habitat asal, Yogyakarta, saya menceritakan semua sisi buruk dari saudara saya yang terlampau sombong (untuk kategori saya) dan kehidupan metropolis yang luar biasa konsumtif. Alhasil, saya berhasil memasukkan persepsi negatif ke dalam pikiran orang-orang tentang saudara saya itu tanpa disadari, sebenarnya, dalam bawah sadar saya sungguh sangat kagum pada apa yang telah saya alami 4 hari tersebut. Ternyata pengaruh saudara saya terhadap perkembangan konsep karir saya sangat kuat. Saya ingin seperti dia. Dan mungkin semua orang tahu itu. Perkenankan saya menjelaskan bahwa perubahan aspirasi karir saya tidak hanya dipengaruhi oleh “tragedi 4 hari” tersebut, namun karena adanya reaksi personal negatif terhadap sosok laki-laki sehingga membuat saya ingin menjadi strong woman. Mungkin tak sekuat Xena atau Marsinah (Ya jelas dong, wong mereka adalah apa- apa dan saya itu bukan apa- apa kog!). Tapi, ya itu, saya ingin menyenangkan ibu dan diri sendiri. Semua celotehan saya di atas adalah preambule, proses dan penutup esai ada pada kalimat ini: “ Berkarir biar ibu bahagia dan sekali lagi bersamaku tertawa”.
Ayo bangun dunia di dalam perbedaan jika satu tetap kuat kita bersinar harus percaya tak ada yang sempurna agar dunia kembali tertawa (SID)
K-A-R-I-R by A. Indah Purnama is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.