Saat pertama kali menapakkan kaki di tempat ini, perasaan saya menjadi tidak baik-baik saja. Saya tidak merasakan suatu kenyamanan di sini. Sewaktu penyerahan dari pihak universitas kepada pihak balai, saya pandangi wajah pengasuh satu persatu. Wajah inilah yang akan menemani kami selama sebulan ini di Balai Rehabilitasi Wiloso Muda Mudi Purworejo. Ya…. di tempat inilah pergulatan kami akan dimulai.
Koper sudah diturunkan dari mobil yang menghantarkan kami, kaki serasa lunglai dan berat untuk menapakkan lebih jauh dari mobil. Beberapa anak memandangi kami dari balik pintu, bahkan ada yang mengintip dari jendela.
“Pak, saya ikut bapak ya….”, rayu saya dengan lemas kepada bapak yang mengantar kami. “Sudah… kamu masuk saja… Cuma sebentar kog…”, jawab bapak sambil tersenyum. Saya menghela napas pelan dan mencoba mendongakkan kepala dan berjalan tanpa memandang mobil kami yang hilang dibalik pintu gerbang, meninggalkan kami. Saya menempati kamar tanpa memilih karena bagi saya saat itu tak ada pilihan karena akan sama saja tidur di kamar manapun.
Saya tak pernah sekacau ini. Saya biasa dapat mengatasi semua perasaan galau karena adaptasi, tapi ini sepertinya lain. Sehari berlalu, kami memulai dengan bersosialisasi dengan anak-anak di balai tersebut. Saya berusaha tertawa walau hati saya masih hampa. Hari kedua, ketiga, keempat berlalu tanpa makna. Hari kelima kami memutuskan untuk melakukan permainan dan evaluasi bersama anak-anak. Kami tak menyangka akan banyak tuntutan anak-anak terhadap kami. Permainan menjadi tidak asyik karena kami bergumul dengan perasaan yang masih saja buruk semenjak kami datang. Ya… kami adalah kelompok yang kompak untuk merasakan ini. Tangis bersama pecah pada minggu pertama, kelima teman kelompok saya menangis di tengah lapangan voli karena banyak kritik yang dituai mereka (lapangan voli adalah “basecamp” kami). Saya? Jangan tanya, walaupun tidak menerima kritik tapi saya rasakan sikap waspada harus dijaga. Memasuki minggu kedua, kami tak ada progres, kami rapuh. Semua yang kami lakukan serba salah, kritik selalu kami dapatkan dari anak laki-laki. Mereka sepertinya ingin didekati namun pihak pengasuh merasa khawatir jika kami terlalu dekat dengan anak laki-laki. Bagi pengasuh, anak-anak tersebut jika diperhatikan akan mudah menyalahartikan perhatian kami.
Kami manut. Manut itu yang menghantarkan kami memasuki minggu ketiga. Sejak minggu pertama, kami sudah memiliki rutinitas yaitu mengikuti apel pagi bersama para pengasuh pada pukul 7.00 lalu kami akan mencuci baju, membantu di dapur, dan tidur. Siang harinya saya biasa melakukan konseling dengan 2 klien yang kebetulan satu kamar dengan saya. Saya berusaha “hidup” selama sebulan ini dengan dekat terhadap mereka; merekalah yang membuat saya bertahan dan terlepas dari proses komunal yang berdampak negatif terhadap perasaan. Sore hari ada kegiatan olah raga, lalu hari minggu ada kegiatan PBB dari KODIM. Siklus yang selalu berulang, saya melihat kejenuhan dalam diri mereka oleh sebab itu mereka melakukan pemberontakan dengan melanggar peraturan, pulang malam, membawa HP, bahkan ada yang menginap di luar balai tanpa seijin pengasuh. Anak laki-laki sudah mulai bisa dekat dan beberapa dari mereka bercerita banyak tentang perasaan-perasaan mereka, masalah mereka, perkembangan mereka selama ini, dan saya merasa senang mereka percaya pada saya. Pernah suatu kali, saya ajak satu kamar anak laki-laki untuk menonton slide yang saya miliki tentang SOKOLA Rimba yang didirikan oleh Butet Manurung. Mmm…. saya mulai berpikir, saya rasa kami memang seharusnya melakukan hal ini pada minggu sebelumnya yaitu masuk ke kamar anak laki-laki untuk melakukan pendekatan dan memutarkan film kepada mereka sebagai sarana edukasi. Mereka jenuh karena merasa “tersingkirkan” ketika kami lebih dekat dengan anak perempuan sehingga cara ini saya rasa cukup efektif selama kita memposisikan diri kita sebagai pendamping dan kakak, bukan lawan jenis yang harus menjaga jarak.
Hari-hari saya mulai bermakna ketika hampir semua anak balai dekat dengan saya, bahkan ada anak laki-laki yang setiap malam bercerita tentang masalahnya melalui sebuah MP3. Saya selalu membalasnya, mencoba memberikan solusi untuknya. Perlu diketahui bahwa anak ini yang sejak awal telah memojokan kami dengan segala tuntutannya. Tapi lambat laun, anak ini justru lebih dekat daripada siapa pun. Semua anak hampir selalu bersedia membantu jika saya meminta tolong, bahkan mereka menawarkan bantuan sebelum saya meminta. Mereka butuh pendamping untuk bisa diajak bertukar pikiran, bukan hanya orangtua yang berpegang pada otoritas. Balai rehabilitasi diharapkan dapat memperbaiki diri anak, baik dari segi jasmani maupun rohani. Maka dari itu, sangat dibutuhkan pengasuh yang berkompeten dalam penanganan anak agar kebutuhan jiwa anak yang haus untuk bercerita dapat tersalurkan.
Pada akhirnya, saya mendapatkan banyak pelajaran dari PPL Komunitas ini, salah satunya adalah berpegangan tangan untuk menghadapi tantangan. Mungkin terdengar klise, tapi itulah yang saya pelajari. Kelompok saya adalah kelompok yang sangat kompak, ketika menghadapi kritikan dari banyak pihak, kami saling meneguhkan.
Tetesan air mata kami masih tertinggal di lapangan voli maka kami akan kembali.
Waktu Menyembuhkan Setiap Luka by A. Indah Purnama is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.