Dinamika Pedagang Kakilima

Citra Satpol-PP di mata Pedagang Kaki Lima

Bentrok antara Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol-PP) dan pedagang kalilima kerap kali menghiasi liputan berita di media massa, baik elektronik maupun cetak. Sudah bukan hal baru ketika ada artikel baru mengenainya. Namun, saya berupaya menilik sejauh apa citra Satpol-PP dalam sudut pandang pedagang kaki lima. Pemaparan secara khusus, berdasarkan kejadian penertiban pedagang kaki lima di sepanjang jalan Malioboro, pada tanggal 14 Juli 2012.

Aksi Protes Pedagang Kaki Lima di Yogyakarta
Aksi Protes Pedagang Kaki Lima di Yogyakarta

Siang hari itu, saya berjalan kaki di sepanjang trotoar jalan Malioboro, tepatnya di sekitar Monumen Serangan Umum Satu Maret. Di sepanjang pagar monumen terdapat tulisan-tulisan pada lembaran karton. Tulisan-tulisan tersebut merupakan bentuk protes para pedagang kaki lima kepada pemerintah daerah Yogyakarta, khususnya Satpol-PP. Salah satu pencitraan Satpol-PP oleh pedagang kaki lima, yaitu: melalui tulisan “Jogja Istimawa (istimewa, red) Tanpa Satpol Keple!!”. Sebagai pendatang, saya tidak begitu mengerti arti kata Keple. Ketika saya bertanya kepada orang yang mengerti bahasa Jawa (Yogyakarta), saya kaget sambil mengucapkan “oh..OKE!” dengan intonasi rendah. Kata Keple dalam pengertian bahasa Jawa berarti pelacur.

Perda Versus Realita

Tuntutan untuk mencabut Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 26 Tahun 2002 (Perda Kota Yogyakarta No. 26/2002) tentang Penataan Pedagang Kakilima merupakan satu topik yang dituliskan oleh para pedagang kaki lima di sepanjang jalan malioboro (14/7). Dalam Bab VIII Perda tersebut, memposisikan topik peraturan sebagai bentuk hukum pidana dimana pelanggar dalam peraturan tersebut dapat dipenjarakan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 2.000.000,-. Salah satu peraturan yang dicantumkan yaitu pada pasal 8 ayat (1) huruf (b) yang menjelaskan bahwa pedagang kakilima dilarang melakukan kegiatan usaha di depan Gedung Agung, Monumen Serangan Umum Satu Maret, Taman Makam Pahlawan Kusumanegara dan di lokasi selain yang telah ditentukan.

Tuntutan Pedagang Kakilima di Monumen Serangan Umum Satu Maret
Tuntutan Pedagang Kakilima di Monumen Serangan Umum Satu Maret

Wajar saja, jika para pedagang kakilima menuntut pencabutan Perda Kota Yogyakarta No. 26/2002. Karena nyatanya, lokasi-lokasi tersebut merupakan lokasi strategis yang banyak menarik turis. Bahkan bagi para turis, pedagang kakilima merupakan daya tarik tersendiri. Misalnya, banyak turis yang mendokumentasikan pedagang sate yang membawa semua peralatan dan barang dagang di atas kepalanya. Hal ini, dicantumkan juga dalam perda dimaksud, yaitu pada pasal 10 ayat (3) tentang Fasilitas/Pembinaan yang berisi, “Kegiatan usaha pedagang kakilima di lokasi-lokasi tertentu diupayakan untuk mampu menjadi daya tarik Pariwisata Daerah”. Bisa saja, para pedagang tersebut ditempatkan dalam satu pasar tertentu. Tapi, mereka tidak akan menjadi daya tarik khusus; hanya sekadar pedagang pada umumnya. Padahal, mereka memiliki nilai ekstrinsik sebagai orang perorang atau kelompok yang berdagang di trotoar, atau lokasi strategis lainnya.

Tugas masyarakat dan pemerintah untuk melakukan fasilitasi atau pembinaan kepada para pedagang kakilima agar usaha mereka lebih berkembang dan tertata. Bukan hanya ‘mengadili’ mereka, bahkan menghukum (hukuman penjara atau denda, red). Lebih ekstrim lagi, dengan memporak-porandakan peralatan atau barang dagang mereka. Seolah, pemerintah menunjukkan kegagalan dalam melakukan fasilitas dan pembinaan. Lebih jauh lagi, pemerintah menunjukkan kegagalan berdemokrasi.

Mari, kita bersama membangun perekonomian melalui kerjasama! bukan, saling mengadili dan menghukum.

Pustaka:

Dinamika Pedagang Kakilima by Bayu Alfian is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.