Anneke, Langit Mana Lagi Yang Engkau Cari?

Don’t wanna sleep
Don’t wanna die
Just wanna go a-travelin’
through the pastures of the sky
(Truman Capote, Breakfast at Tiffany’s)

Siang itu Anneke Fitrianti, perempuan asal Bandung yang lahir pada tanggal 6 Juni 1985 menyapaku dengan mata coklatnya. Jemari yang lentik mengapit sebatang Djarum Black yang masih panjang. Setelah berbasa-basi sejenak, mulut yang mungil segera menceritakan kisahnya. Membagi kepingan perjalanan yang menorehkan jejak beribu rasa pada diri. Beberapa kisah secara nyata tertoreh dengan tinta yang menjelma tato pada kulitnya.
Anne, yang saat itu tubuh tinggi rampingnya dibalut celana legging panjang dan tanktop, membuatku dapat melihat beberapa tato dengan cukup jelas.Tato merajah dada, tangan, dan kakinya yang sudah indah.

“Sejak awal tato bukan hal yang aneh buatku. Ibuku pun bertato,” kata Anne, memulai kisah cintanya dengan dunia tato.
Sejak kecil, Anne sangat suka menggambar. Dan seperti kebanyakan orang ‘besar’ lainnya, tanpa sadar Anne terus konsisten pada hal yang dicintai dan dipercayainya, yaitu menggambar.

Anne memilih disebut sebagai tattooist atau tukang tato,daripada tattoo artist (seniman tato). Seniman tato sudah bisa mencapai hal-hal yang belum bisa dicapai oleh tattooist. Contohnya adalah seniman tato bisa memilih sendiri orang yang ingin ditatonya, dan menentukan gambar yang ingin dia torehkan.
Kini Anne sudah menikah dan tinggal di Jogja bersama suami dan anak lelakinya, Genta Senjakala (3,5). “Sebenarnya dulu mau dikasih nama Petir,” katanya.

Tubuh sang suami, Memet (36), juga bertato. Anne sering menato suaminya pada tengah malam. Tapi di tengah malam yang dulu, Anne tidak tentu berada di belahan bumi yang mana. Tahun 2002, setelah memutuskan keluar dari sekolah menengah perhotelan yang sempat dilakoninya, Anne mulai berkelana ke berbagai tempat di Indonesia. Backpacker, istilahnya. Bali, Jakarta, dan berbagai tempat di Indonesia lain dijajalnya dengan modal nekat dan uang seadanya. Dia hanya betah berada di satu kota sekitar 8 bulan. Keberanian, adalah salah satu hal penting yang dimiliki Anne. Berbagai pekerjaan dilakoninya saat itu. Dari bartender hingga bekerja di sebuah agen periklanan. Pekerjaan yang paling sering dilakukannya adalah penjaga warnet. Selain untuk menyambung hidup, Anne juga perlu akses ke dunia maya yang digemarinya. Dari dunia maya pula, Anne menemukan seseorang yang hingga kini menjadi sahabatnya.

Dari berbagai macam orang yang ditemui dalam perjalanan, akhirnya ada seorang laki-laki yang datang menawarkan persahabatan yang masih berlanjut sampai sekarang. Namanya Dala. Anne menemukannya sebagai Angin, saat dia adalah Debu. Pada Dala Anne menemukan ketulusan, seperti yang dia temukan saat berkumpul dengan teman-teman punk-nya , sewaktu dia hidup di jalanan.

Pada tahun 2007, Anne menapaki Jogja. Kali ini dengan semangat yang baru. Anne mulai magang dan belajar tato. Lewat Athonk, Anne melihat jalan untuk memulai belajar tentang tato. Selama dua tahun dia belajar dan berkutat dengan sketsa serta mekanisme menato. Baru setelah itu, Anne diperbolehkan mempraktekkannya dengan alat untuk menato. Maka, kegiatannya sebagai tattooist terus berlanjut hingga sekarang. Setelah tidak bekerja pada Eternity Tattoo di selokan mataram, Anne punya rencana baru. Dia sedang mengumpulkan uang dan asa untuk membuka studio seninya sendiri, Petrichor Tattoo. Tidak hanya studio tato yang akan ada di tempatnya itu. Tapi ruang-ruang yang memberi dirinya kebebasan mengekspresikan berbagai kesenian lainnya. “Lagi nabung.” Katanya.

“Genta di day care sampai jam lima nih.” Kata Anne lagi sembari mematikan Djarum Blacknya yang entah sudah batang keberapa. Dia berbenah lalu mengajakku turun ke tempat vespanya berada. Setelah bersalaman dan cipika-cipiki, Anne sebentar menatap ke langit. Lalu ia berlalu dengan vespanya. Melihat sang penakluk hati dari banyak lelaki itu pergi, teringat satu lagu di kepalaku,

wajahmu selalu terbayang
dalam setiap angan
yang tak pernah bisa hilang
walau sekejap….. (Bunga Band, Kasih Jangan Kau Pergi).

Quo Vadis, Anneke?

Anneke, Langit Mana Lagi Yang Engkau Cari? by Graziassita Patria is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.