HISTORI
Rokok: Dari Alasan Penaklukan Oleh Barat Hingga Penghidupan Petani
31 mei diperingati sebagai hari tanpa tembakau sedunia. Semua orang sudah tahu bahaya merokok, tapi tahukah kita bagaimana rokok menjadi bagian dari hidup massa?
Lebih dari 50 tahun silam, dalam sebuah resepsi diplomatik di Istana Buckingham – Inggris tahun 1953, seorang lelaki berkulit sawo matang, berjanggut putih, bertubuh kurus dan pendek – untuk ukuran orang Eropa – berdiri dengan penuh percaya diri. Ia dengan tenang menghisap dan menghembuskan asap rokok kreteknya beraroma menyengat dan bunyinya yang kretek-kretek. Melihat pria itu, Haji Agus Salim, Dubes RI pertama dan mantan Menteri Luar Negeri kabinet Hatta dan Sjahrir (1947-1949), asyik menyedot asap kretek, orang-orang pun berkerumun dan mengheraninya. Seorang diantaranya tak tahan untuk tidak bertanya, “Apa yang Anda isap itu, Tuan?”.
“Inilah, Yang Mulia, yang menjadi pendorong penaklukan Barat atas dunia!” tukas Agus Salim. “Inilah” yang dimaksud bukanlah rokok, melainkan cengkeh, bahan baku utama rokok. Kita tahu, cengkeh, yang berasal dari kepulauan Maluku itu, menjadi rebutan para pedagang dari Barat pada abad ke-16 dan abad ke-17. Bagi Indonesia, cengkeh dan rempah-rempah lain menjadi awal penjajahan bangsa Eropa lebih dari 350 tahun. Selain cengkeh, bahan baku utama rokok adalah tembakau. Untuk yang ini, Bangsa asli benua Amerika yang mengawalinya. Tapi, adalah Christopher Colombus, orang Eropa penemu benua Amerika, yang berjasa mengenalkannya pada dunia. Ia mendarat, di Pulau Waitling, Amerika Tengah, pada 12 Oktober 1492 kemudian membawa biji tanaman itu ke Spanyol dan membagi-bagikannya pada siapa saja yang berminat, setelah ia tiba kembali di Spanyol Maret 1493.
Mula-mula tanaman itu dipelihara sebagai tanaman hias eksotik di rumah-rumah penghuni kota, karena warna bunganya yang kuning dengan mahkota merah jambu menarik perhatian. Tapi kemudian tanaman ini juga menarik perhatian para ilmuwan, karena Colombus bercerita, daun tanaman itu dibakar di depan mulut, lalu diisap asapnya oleh orang Indian. Untuk apa orang Indian menghisap asap daun terbakar itu? Kata Colombus, itu bisa menenangkan perut keroncongan dan jantung yang berdebar. Orang-orang Eropa kemudian meniru dan mengembangkan budaya merokok tembakau itu, serta mengambil dan menyebarkan bibit tanaman itu ke berbagai penjuru dunia.
Khasiat tembakau sebagai penenang ini begitu nyata, sampai diplomat Perancis di Portugis, Jean Nicot, memperkenalkannya di kalangan pembesar sipil dan militer pada tahun 1560. Ia juga “menemukan”, bahwa menyedot tembakau menyembuhkan sakit kepala. Tembakau sedotan ialah tembakau serbuk yang dihirup melalui lubang hidung. Karena orang berkali-kali bersin setelah menghirup tembakau serbuk ini, maka rasa nyeri di kepala jadi berkurang. Sejak itulah seluruh Eropa tergila-gila menciumi “tembakau sedotan”, kalau kepala sakit. Indonesia baru mengenal tembakau lewat orang Portugis di awal abad ke-17. Tembakau menambah kebiasaan leluhur kita mengunyah sirih dan pinang yang dikenal sebelumnya. Tambahan bahan penting ini oleh orang Jawa disebut bako susur. Nama ini jadi bukti kalau orang Portugis-lah yang mengenalkan tembakau, karena kata bako dipengaruhi bahasa Portugis, tabaco, sedang bahasa Belanda tembakau adalah tabak.
Menghisap tembakau yang digulung seperti rokok sekarang, mulanya adalah kebiasaan orang Eropa. Namun dengan cepat menjalar ke lingkungan elit masyarakat Jawa. Seorang utusan VOC, H. de Haan yang tahun 1622-1623 berkunjung ke keraton Mataram menuturkan kalau Sultan Agung merokok dengan pipa berlapis perak. Pada akhir abad ke-18, merokok sudah menyebar ke masyarakat biasa, bahkan telah menjadi kebutuhan hidup. Setelah orang Indonesia mengenal tembakau dari Portugis di awal abad ke-17, baru pada pertengahan abad itu lahir rokok pertama yang disebut bungkus. Rokok ini berbahan tembakau tumbuhan setempat, yang digulung dalam kulit jagung kering atau bagian dalam pelepah pohon pisang dan diikat dengan benang atau tali rami. Tampaknya, bungkus berasal-usul dari Maluku. Dibawa ke Jawa pada pertengahan abad ke-18, namanya dikenal sebagai “Bungkus Ternate”-sebuah pulau di Maluku. Rokok pertama Indonesia ini merupakan perkembangan cerutu India atau Birma – istilah cerutu diambil dari shuruttu Tamil.
Pada Akhir abad ke-17, rokok berbahan tembakau lainnya muncul di Sumatera. Jenis ini disebut roko atau rokok – istilah yang dikenal sampai sekarang. Roko sangat mirip dengan bungkus dalam hal berbahan tembakau, tapi dibungkus dengan nipah kering – bukan kulit jagung atau pelepah pisang, seperti di Jawa. Istilah roko atau rokok berasal dari bahasa Belanda; roken, berarti merokok. Istilah ini mungkin dikenalkan oleh pelaut Belanda di Pelabuhan Sumatera pada abad ke-17. Yang menarik, istilah bungkus tidak lagi berarti rokok melainkan alat pembungkus atau tindakan membungkus. Rokok kretek pertama lahir di Kudus, Jawa Tengah, pada penghujung abad ke-19, sekitar tahun 1880-an. Pada masa itu di Kudus ada seorang bernama Haji Jamahri. Ia sudah lama menderita sakit dada atau sesak nafas. Kalau sakitnya kumat, maka Haji Jamahri meringankan sakitnya dengan menggosokan minyak cengkeh di dada dan punggung. Pada kesempatan lain, ia tak hanya menggosokkan badannya, tapi juga dengan mengunyah cengkeh, yang dia rasakan membawa efek lebih segar lagi. Sebagaimana halnya dengan orang-orang lain, Haji Jamahri juga seorang perokok. Maka suatu ketika terdorong untuk semakin memujarabkan cengkeh untuk mengobati sakit dadanya, ia punya ide bagaimana kalau cengkehnya dirajang halus dan dicampurkan ke tembakau rokoknya, sehingga asap cengkeh itu dapat masuk ke paru-parunya. Eksperimen pun dicoba dan hasilnya, Jamahri merasa nyaman dan sembuh.
Naluri dagangnya pun berkembang. Lalu, ia membuat rokok tersebut lebih banyak dan menitipkannya di toko- toko obat. “Rokok cengkeh” begitu ia menamakannya, ternyata disukai orang. Sayang, ia meninggal pada 1890, sebelum usahanya benar-benar berhasil. Sebutan rokok cengkeh tak berumur lama. Karena setiap kali rokok cengkeh diisap selalu mengeluarkan bunyi kumeretek, yakni bunyi “kretek-kretek” seperti daun kering terbakar, lama-lama orang pun menyebutnya rokok kretek. Kepopuleran rokok kretek di masyarakat seketika menjadikannya sebuah industri. Semula hanya industri rumahan tapi lama-lama menjadi pabrikan. Yang tadinya “obat”, jadi sekadar rokok jenis baru. Yang berhasil membuat rokok kretek menjadi industri massal adalah M. Nitisemito. Rokoknya diberi merek Bulatan Tiga, kemudian Bola Tiga, sebelum akhirnya Bal Tiga. Pada 1920-an, Bal Tiga menjadi merek rokok kretek paling digemari. Pertentangan antar keluarga dan kedatangan Jepang membuat perusahaan rokok Nitisemito gulung tikar.
Industri membuat rokok semakin diminati. Industri mengedepankan keuntungan, menginginkan sebanyak mungkin orang merokok. Apalagi tembakau mengandung Nikotin dan Tar. Nikotin bersifat menenangkan dan narkotis (membius)sampai membuat ketagihan. Sedangkan Tar merangsang pembentukan sel kanker pada paru-paru. Fakta ini baru diketahui pada 1960 di kalangan perokok Amerika Serikat. Kalau daun tembakau dibakar di depan mulut, asapnya juga mengeluarkan gas karbon monoksida (CO) seperti gas buangan knalpot mobil. Karbon monoksida itu mengerem darah yang bertugas membawa oksigen dari paru-paru dan mengedarkannya ke seluruh tubuh. Dari pengamatan bertahun-tahun di Amerika Serikat terungkap, bahwa kaum perokok hidup 3-4 tahun lebih pendek dari kaum bukan perokok. Perokok berat (yang menghisap 2 pak lebih rokok per hari), malah 8 tahun lebih pendek. Didakwa keras, biang keladinya ialah terhambatnya darah mengedarkan oksigen gara-gara gas karbon monoksida yang masuk setiap hari ke tubuh.
Dari sini kemudian muncul kampanye anti rokok di mana-mana. Merokok tak lagi dipercaya bisa mengusir sakit kepala seperti di Eropa abad ke-16 atau sesak nafas di Jawa akhir abad ke-19. Merokok malah menjadi produk paling beresiko bagi kesehatan. Bahkan muncul gerakan Hari Tanpa Tembakau Sedunia yang diperingati setiap 31 Mei. Gerakan ini masih dijalankan setengah hati di banyak Negara, baik maju maupun berkembang. Sebab tak bisa dipungkiri lagi, industri rokok mendatangkan uang bagi pemerintah lewat cukai rokok dan menghidupi jutaan petani dan pekerja. Di Indonesia, setiap tahun industri rokok menyumbang pemasukan Rp 60 triliun pada pemerintah. Kenyataan itu yang membuat sikap pemerintah seperti mendua, ingin membatasi karena ingin rakyatnya hidup sehat tanpa rokok, tapi di sisi lain tak bisa membiarkan industri ini runtuh begitu saja.
FAKTA
Perempuan Perokok Meningkat; Sebagian Besar Didorong oleh Iklan dan Promosi
Sebagian besar iklan rokok membidik kaum perempuan Hal ini menyebabkan jumlah perempuan perokok semakin bertambah. Sudah saatnya Indonesia ikut serta dalam Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), sehingga berbagai iklan rokok tak lagi dibuat sembarangan. Data dari 151 negara tahun 2008 menunjukan sekitar tujuh persen dari gadis-gadis remaja merokok. Tidak berbeda jauh dengan jumlah remaja laki-laki yang mencapai dua belas persen. Berdasarkan Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), jumlah perokok meningkat 2,1 persen per-tahun di negara berkembang, sedangkan di negara maju menurun sekitar 1,1 persen per-tahun. Penelitian di Jakarta tahun 2008; 64,8 persen laki-laki dan 9,8 persen perempuan berusia di atas tiga belas adalah perokok. Data lain menyebutkan; 88,78 persen dari 3.040 pelajar SMP putri hingga mahasiswi (13-25 tahun) di Indonesia merokok. Berdasarkan data-data tersebut, tidak salah jika Hari Tanpa Tembakau Sedunia mengusung tema, “Gender and Tobacco with an Emphasis on Marketing to Women” (Gender dan Tembakau, Penekanannya pada Pemasaran untuk Perempuan). Menurut penelitian, sekitar 92,86 persen remaja putri melihat iklan rokok di televisi dan 70,63 persen di poster. Sekitar 70 persen remaja dan perempuan juga mengaku melihat promosi rokok pada acara pentas musik, olah raga, dan kegiatan sosial. Sekitar 10,22 persen wanita berusia 13-15 tahun dan 14,53 persen wanita berusia 16-25 tahun pernah ditawari sampel rokok gratis.
Di dalam asap rokok mengandung enam ribu zat berbahaya bagi kesehatan. Merokok dapat menyebabkan beberapa penyakit, seperti kanker paru-paru, bronkitis kronis, asma bronkhiale, infeksi paru, serta primary pneumothorax;sekitar 85 persen penderita kanker paru merupakan perokok. Kanker paru merupakan penyakit yang menyebabkan angka kematian sangat tinggi, ada delapan orang yang meninggal setiap menit akibat rokok. Oleh karena itu, sudah saatnya bagi pemerintah Indonesia untuk turut menandatangani FCTC. Keikutsertaan tersebut menunjukan komitmen Indonesia dalam menanggulangi bahaya rokok. Salah satu komitmen tersebut pun ditunjukan dalam pengaturan iklan rokok; mulai dari jam tayang iklan hingga konten iklan rokok yang diperbolehkan. Begitu pula dengan ketentuan standar kemasan rokok, yaitu dua per tiga dari kemasan rokok harus menggambarkan akibat rokok dan hanya sepertiga bagian yang bisa digunakan untuk tulisan merek dagang rokok. Tidak tertinggal, tulisan peringatan bahaya rokok harus penuh di sisi-sisinya.
Berdasarkan data dari Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM)-Bandung, menyatakan:
- Setengan perokok akan meninggal akibat rokok; 50 persen tutup usia pada umur 35-69 tahun.
- Total pria yang meninggal akibat rokok; 3,4 juta orang.
- Wanita di negara maju yang meninggal akibat rokok; 0,5 juta orang.
- Wanita di negara berkembang; 0,3 juta orang.
- Total kematian akibat rokok adalah 4,2 juta per tahun, atau 350.000 per bulan, atau 11.666 per hari, atau 486 per-jam.
- 526 perempuan yang tidak merokok tapi memiliki suami perokok (lebih dari 20 batang rokok sehari), ternyata menunjukan 80 persen di antaranya mengalami keguguran dalam 6 minggu kehamilannya.
- Konsumsi rokok di Indonesia pada tahun 2008 mencapai 240 miliar batang atau setara dengan 658 juta batang rokok per-harinya yang berarti uang senilai Rp 330 miliar “dibakar” oleh para perokok di Indonesia per harinya.
- Jumlah rokok sebanyak itu diisap oleh 62,9 persen laki-laki dan 1,4 persen wanita Indonesia yang berusia 15 tahun atau lebih.
- Indonesia peringkat ke-5 dunia dalam pengkonsumsian rokok 215 miliar batang per tahun 400.000 batang lebih setiap menitnya.
PENGALAMAN SAYA TENTANG ROKOK
Saya adalah seorang pria yang sempat merasakan era dimana rokok dianggap suatu produk “macho”, paling tidak oleh sebagian besar teman-teman saya semasa sekolah dasar. Pada masa itu, tepatnya saat saya masih duduk di kelas 5-6 SD, saya bersama teman-teman dan kakak bisa dikatakan merupakan remaja perokok (sekitar tahun 1998-1999). Kami merokok berawal karena keingintahuan, kemudian menjadi rutinitas. Kami biasa shalat maghrib di masjid yang jauh dari tempat tinggal kami. Sebelum shalat kami selalu menyempatkan membeli rokok filter. Saat pulang shalat, kami menyulutrokok dan menghisapnya sepanjang jalan. Karena jarak masjid dan tempat tinggal kami yang jauh, 2-3 batang bisa kami habiskan setiap harinya selama lebih dari satu tahun. Mungkin kami hanya sebagian kecil dari jumlah anak-anak yang merokok pada era itu. Olok-olokan orang yang mengatakan, “kalau tidak merokok itu seperti banci” merupakan alasan yang sering saya dengar dari teman-teman (pria) yang mulai mencoba merokok. Tentu perubahan era sudah terjadi beberapa tahun ini; yang tadinya rokok menjadi alasan pria agar tampak “macho”, kini rokok lebih sering saya lihat perempuan menghisapnya.
Tidak jadi soal siapa yang merokok, nyatanya ketika saya mencari data tentang rokok, adalah zat-zat yang beresiko bagi kesehatan orang terkandung dalam setiap batangnya hingga ada ‘pernyataan perokok pasif lebih beresiko merasakan imbas rokok daripada perokok aktif sendiri’. Ketika saya naik angkutan kota di Depok dan Jakarta, saya sering melihat stiker kampanye anti rokok, DIA YANG MEROKOK, KITA YANG MATI, kurang lebih begitu tagline dengan huruf kapital dan jenis huruf semacam Beast Impacted, bukan Comic Stripe. Desain yang tampak seram tentunya sangat menonjol seolah ingin menyampaikan imbas dari rokok sendiri. Imbas yang sempat saya alami juga ketika saya duduk di kelas satu sekolah menengah pertama yaitu sesak nafas akut. Sebelumnya saya sudah berhenti merokok, namun imbasnya baru terasa beberapa waktu setelahnya. Sehingga saya sempat ijin karena sakit selama kurang lebih satu bulan. Saya sudah tidak merokok, namun belakangan ini saya sempat merokok beberapa kali. Memang terasa berbeda rokok yang pernah saya isap dulu dengan rokok yang ada sekarang ini. Tapi semuanya hanya rokok jenis baru saja, tidak dengan imbasnya. Persoalan rokok memang tidak terlepas dengan banyaknya pasokan bahan baku yang mudah dijangkau.
Seperti cengkeh – salah bahan baku rokok, saya sendiri memiliki pengalaman tentangnya; sekitar akhir tahun 2009, saya dikagetkan dengan berita bahwa almarhum Papa saya merupakan pewaris “sebidang” tanah di Manado yang salah satu pemanfaatannya berupa perkebunan cengkeh. Ketika saya bertanya tentang luas perkebunan cengkeh tersebut, Uwa/paman saya menggambarkannya dengan “satu Kabupaten”. Dari pengalaman tersebut, saya berpikir; itu bukan satu-satunya perkebunan cengkeh yang ada, serta saya membayangkan betapa banyaknya pasokan cengkeh yang digunakan sebagai bahan baku rokok. Alih-alih penghidupan atas petani menjadi salah satu faktor dari produksi rokok yang harus kita pikirkan dalam penanggulangan persoalannya.
Catatan Tentang Rokok by Bayu Alfian is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.